Barangkali ada yang pernah melakukan kesalahan atau dosa, namun dilakukan dalam keadaan lupa. Apakah keadaan seperti itu, ia dihukumi ahli maksiat? Begitu pula ada yang meninggalkan kewajiban karena lupa, apa ia mesti mengerjakannya atau menggantinya?
Ibnu Taimiyah membawakan suatu kaedah yang patut kita ingat,
مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا نَاسِيًا لَمْ يَكُنْ قَدْ فَعَلَ مَنْهِيًّا عَنْهُ
“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan suatu yang terlarang. ” (Majmu’ Al Fatawa, 20: 573)
Maksud Kaedah
Suatu perkara larangan yang dilakukan dalam keadaan lupa, pelakunya tidaklah disebut pelaku maksiat dan ia tidak dikenai dosa. Karena sesuatu yang dilakukan dalam keadaan lupa seperti sesuatu yang tidak ada.
Melakukan Sesuatu Karena Lupa
Melakukan sesuatu karena lupa tidak lepas dari dua hal:
1- Berkaitan dengan hak Allah, jika dilakukan dalam keadaan lupa atau keliru, maka tidak dikenai dosa. Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini,
مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا مُخْطِئًا أَوْ نَاسِيًا لَمْ يُؤَاخِذْهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَحِينَئِذٍ يَكُونُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ لَمْ يَفْعَلْهُ فَلَا يَكُونُ عَلَيْهِ إثْمٌ وَمَنْ لَا إثْمَ عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ عَاصِيًا وَلَا مُرْتَكِبًا لِمَا نُهِيَ عَنْهُ وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ قَدْ فَعَلَ مَا أُمِرَ بِهِ وَلَمْ يَفْعَلْ مَا نُهِيَ عَنْهُ . وَمِثْلُ هَذَا لَا يُبْطِلُ عِبَادَتَهُ إنَّمَا يُبْطِلُ الْعِبَادَاتِ إذَا لَمْ يَفْعَلْ مَا أُمِرَ بِهِ أَوْ فَعَلَ مَا حُظِرَ عَلَيْهِ
“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut sehingga ia tidak dihukumi berdosa. Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan atau melakuakn yang dilarang.” (Majmu’ Al Fatawa, 25: 226).
2- Berkaitan dengan hak manusia, maka klaim lupa tidaklah diperhatikan dan tidak dianggap seperti orang yang mendapat uzur (pemaafan). Misalnya saja jika ada orang yang merusak barang orang lain dalam keadaan lupa, maka ia mesti ganti rugi.
Meninggalkan Perintah Karena Lupa
Perkara yang dibahas di atas adalah berkaitan dengan larangan yang terlupakan. Bagaimana dengan perintah yang terlupakan sehingga ditinggalkan?
Jika perkara yang diperintahkan itu ditinggalkan, maka tidaklah gugur karena alasan lupa. Perkara perintah tersebut wajib dilakukan. Misalnya saja, orang yang berhadats ketika shalat karena lupa, maka shalatnya harus diulangi. Karena ia meninggalkan sesuatu yang wajib.
Ibnul Qayyim berkata,
وسر الفرق أن من فعل المحظور ناسيا يجعل وجوده كعدمه ونسيان ترك المأمور لا يكون عذرا في سقوطه كما كان فعل المحظور ناسيا عذرا في سقوط الإثم عن فاعله
“Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.” (I’lam Al-Muwaqi’in, 2: 51).
Dalil yang Menjadi Dukungan
Dalam hadits Ibnu ‘Abbas, ketika turun firman Allah Ta’ala,
لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (QS. Al Baqarah: 286). Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.” (HR. Muslim no. 125).
Juga dapat dilihat dalam hadits Ibnu ‘Abbas secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.” (HR. Ibnu Majah no. 2045. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Penerapan Kaedah
1- Barangsiapa yang lupa menyucikan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan lupa, maka shalatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika shalat. Ketika dilakukan diterjang dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi. Berbeda halnya dengan hadats yang merupakan perintah yang mesti dilakukan. Ketika perintah ini untuk menyucikan diri dari hadats tidak dilakukan, maka shalatnya harus diulangi.
2- Siapa yang berbicara ketika shalat dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah. Karena berbicara adalah suatu larangan dalam shalat. Ketika dilakukan dalam keadaan lupa, berarti seperti tidak melakukannya dan berarti shalatnya sah.
3- Di antara larangan ketika puasa adalah makan dan minum. Jika seseorang melakukan larangan ini dalam keadaan lupa, puasanya tetap sah karena ia dihitung tidak seperti melakukannya.
4- Barangsiapa yang menjima’ istrinya dalam keadaan lupa padahal itu suatu pantangan ketika i’tikaf, maka i’tikafnya tetap sah.
Intinya, jika seseorang melakukan yang haram atau larangan dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukan hal itu sama sekali sehingga tidak ada qodho’. Beda halnya kalau perintah yang ditinggalkan, maka tetap kewajiban tersebut harus dilakukan.
Semoga yang singkat di malam ini bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Al Haram fii Asy Syari’ah Al Islamiyah, Dr. Qutb Ar Risuni, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1432 H.
—
Disusun di malam hari selepas ‘Isya’, 6 Syawal 1434 H, @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul
Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat